Kampung Adat Di Tatar Sunda

           Saat ini saya masih mencari definisi dari kampung adat, namun mungkin secara garis besar adalah sebuah kawasan yang masih menjaga dan mempertahankan segala bentuk adat istiadat, hukum, dan aturan yang telah di tetapkan oleh para leluhur mereka.
          Setiap kampung adat masih menjalankan segala tradisi dengan berbagai macam larangan dan pantrangan dan didalam masyarakat sunda disebut dengan istilah " Pamali", Sehingga Kondisi  Suatu kampung adat masih banyak yang tidak tersentuh oleh budaya Moderen. dan menyuguhkan Suasana yang asri dan pemandangan yang benar benar indah.
           Kampung Adat bisa dijadikan tempat wisata budaya dan wisata spiritual karena memiliki norma dan aturan adat istiadat yang dapat dijadikan dasar dasar dalam kehidupan.
ini lah beberapa kampung adat yang ada di tataran atau wilayah Masyarakat Sunda, meliputi daerah Propinsi Jawa barat dan Banten. dan hanya sekilasulasan yang saya gambarkan tentang kampung adat tersebut.


1. Kampung Cireunde

  

        Secara geografis adat kampung Cireunde terletak  di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu. Kampung Adat Cireundeu tersebut terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 50 kepala keluarga atau 800 jiwa, mayoritas mata pencaharian mereka adalah sebagai mana adat orang sunda terdahulu yaitu bercocok tanam (bertani), jenis pertanian yang di tekuni di kampung adat ini yaitu bertani ketela. Kampung Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman.
        Kepercayaan Masyrakat Kampung Adat Cireunde masih memegang teguh adat itiadat dan kepercayaan leluhurnya yakni kepercayaan sunda wiwitan. Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal.
        Kegiatan adat yang Rutin dilakukan adalah Upacara Satu Sura yang merupakan Tradisi upacara sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang maha pencipta atas segala suka duka karunia dan nikmat yang telah di terima, berupa keberkahan hidup, kesehatan lahir dan batin atas pemberian sang maha pencipta untuk kelangsungan hidup.
        Makanan Pokok Masyarakat Adat Cireunde sangat unik yaitu berupa singkong, atau Ketela, yang di olah menjadi makana pokok.


2.Kanekes Baduy

      

         Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten LebakBanten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasidari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
       Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah CikeusikCikertawana, dan Cibeo.
Dan Masyarakat Baduy terbagi menjadi 2 bagian yaitu Baduy dalam dan Baduy Luar.
         Adat Istiadat dan aturan Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
  • Agama dan Kepercayaan Masayarakat Kanekes Baduy adalah agama Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama BuddhaHindu, . Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
    Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
    (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung) 
  • Asal usul masarakat Kanekes Banten  menurut Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa


3. RancaKalong Sumedang

  

       Secara Geografis Kampung Adat Ranca Kalong berada di Kecamatan rancakalong Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa barat, yang perupakan Kota kecamatan yang ada di daerah Sumedang bagian Barat. 
          Kecamatan Rancakalong terdiri dari 5 desa yaitu Desa Rancakalong, Desa Cibunar, Desa Pasir Biru, Desa Pangadegan, dan Desa Sukahayu.
        Adat Istiadat Kampung Rancakalong Merupakan Peninggalan dari Kerajaan Sumedang Larang, yang merupakan keturunan Kerajaan Pajajaran yang terakhir.
         Upacara Adat di Kampung rancakalong adalah   tradisi Ngalaksa dan Upacara Rayagung, Meski kemasannya berbeda, upacara rayagungan dan ngalaksa yang rutin digelar setiap tahun, memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu sebagai pendorong motivasi dan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh masyarakat di sana. Hanya saja, bila tradisi rayagungan yang upacara ritualnya lebih menonjolkan figur para pendekar dan paranormal dan baru digelar ke tiga kali, sedangkan upacara adat ngalaksa sudah ada sejak masih zaman Belanda. dan Upacara tersebut di adakan Selama 5 hari dan ditutup dengan kesenian khas kampung adat rancakalong yaitu Tarawangsa 
          Tarawangsa adalah kesenian sunda asli berasal dari daerah Rancakalong Kabupaten Sumedang, kesenian tarawangsa terdiri dari dua alat yaitu Rebab  dan Kecapi, dan lagunya ada lima yaitu lagu bubuka, lagu ayun ambing, lagu ayang ayang gung, lagu jemplang, dan lagu penutup. Tarawangsa ditanggap pada acara rumpak jami ampih pare, Tarawangsa sarat dengan sesaji dari makanan hasil bumi, sarat dengan magic, sangat sakral, Tarawangsa sendiri dipimpin oleh sesepuh sebagai juru ijab yaitu dari sesepuh setempat, penari sering katitihan hujan cimata, saling minta maaf dan saling mendoakan, Acara dilaksanakan semalam suntuk, dalam ritual disertakan benih padi sabokor untuk disemai musim tanam berikutnya, disertakan pula benda pusaka, dan orang orangan, upacara ini disebut pula mapag jajap kersa nyai, parukuyan ngelun sepanjang malam, nanggap tarawangsa beralasan dua yaitu jajap ngaleuitkeun dan mapag ngabinihkeun kersa nyai,
dan dilaksanakan Selama 3 hari 3 malam.


4.Kampung Naga

  

           Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajianantropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat.
 secara administratif wilayah Desa NeglasariKecamatan SalawuKabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota TasikmalayaKampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda : sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.
         Agama dan Kepercayaan Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang lima waktu: Subuh, Duhur, Asyar, Mahrib, dan salat Isa, hanya dilakukan pada hari Jumat. Pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam ("leuwi"). Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atausanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang SingaparnaBumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayangpencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.
Adapu pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Masyarakat kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga.
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan "sasajen" (sesaji).
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Rhamadhan. Pada bulan-bulan tersebut dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik didasarkan pada hari-hari naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang tercantum dibawah ini:
  1. Muharam (Muharram) hari Sabtu-Minggu tanggal 11,14
  2. Sapar (Safar) hari Sabtu-Minggu tanggal 1,20
  3. Maulud hari (Rabiul Tsani)Sabtu-Minggu tanggal 1,15
  4. Silih Mulud (Rabi'ul Tsani) hari Senin-Selasa tanggal 10,14
  5. Jumalid Awal (Jumadil Awwal)hari Senin-Selasa tanggal 10,20
  6. Jumalid Akhir (Jumadil Tsani)hari Senin-Selasa tanggal 10,14
  7. Rajab hari (Rajab) Rabu-Kamis tanggal 12,13
  8. Rewah hari (Sya'ban) Rabu-Kamis tanggal 19,20
  9. Puasa/Ramadhan (Ramadhan)hari Rabu-Kamis tanggal 9,11
  10. Syawal (Syawal) hari Jumat tanggal 10,11
  11. Hapit (Dzulqaidah) hari Jumat tanggal 2,12
  12. Rayagung (Dzulhijjah) hari Jumat tanggal 6,20
Pada hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut tabu menyelenggarakan pesta atau upacara-upacara perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, didasarkan pada hari-hari naas yang terdapat pada setiap bulannya.


5. Kampung Pulo


Kampung pulo merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Kampung Pulo ini sendiri terletak di Desa Cangkuang, Kampung Cijakar, kecamatan Leles, Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat. 
Adapun batas administrasi dari Kampung Pulo adalah sebagai berikut: 
Utara : desa Neglasari kecamatan Kadungora 
Selatan : desa Margaluyu dan desa Sukarame kecamatan Leles 
Timur : desa Karang Anyar dan desa Tambak Sari kecamatan Leuwigoong 
Barat : desa Talagasari kecamatan Kadungora dan desa Leles Kecamatan Leles 

Menurut cerita rakyat, masyarakat Kampung Pulo dulunya beragama Hindhu, lauli Embah Dalem Muhammad singgah di daerah ini karena ia terpaksa mundur karema mengalami kekalahan pada penyerangan terhadap Belanda. Karena kekalahan ini Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau kembali ke Mataram karena malu dan takut pada Sultan agung. Beliau mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat kampong Pulo. Embah Dalem Arif Muhammad beserta kawan-kawannya menetap di daerah Cangkuang yaitu Kampung Pulo. Sampai beliau wafat dan dimakamkan di kampumg Pulo. Beliau meninggalkan 6 orang anak Wanita dan satu orang pria. Oleh karena itu, dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat yang berjejer saling berhadapan masing- masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 % masyarakat kampong Pulo beragama Islam tetapi mereka juga tetap melaksanakan sebagian upacara ritual hindhu. 




6. Kampung Cigugur

    

Cigugur adalah sebuah desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan atau bahkan kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 26,80 mm dan suhu udara rata-rata sekitar 26°C. Duapuluh tahun yang lalu, ketika penelitian dilakukan, luas wilayahnya adalah 511.120 ha, yang terdiri dari 105.680 ha digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, seluas 116.120 ha sawah, seluas 279.975 ha merupakan tegalan, kolam dan empang seluas 2.860 ha, lapangan seluas 1.180 ha, dan sisanya digunakan sebagai kuburan, jalan raya, pengairan, dan lain-lain. Data ini pasti sudah jauh berubah, tidak hanya dalam komposisi peruntukan lahannya, tetapi juga struktur kepemilikannya.

Agama dan Kepercayaan yang dianut sebagiab besar penduduknya adalah Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda: "Sunda permulaan", "Sunda sejati", atau "Sunda asli") adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.[1] Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monotheisme purba, yaitu di atas paradewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
       Upacara Adat yang digelar taiap tahun adalah acara Seren Taun . yaitu sebuah upacara adat Rangkaian ritual upacara  yang intinya adalah prosesi penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare (induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.Dalam upacara Seren Taun dilakukan berbagai keramaian dan pertunjukan kesenian adat. Ritual seren taun itu sendiri mulai berlangsung sejak tangal 18 Rayagung, dimulai dengan pembukaan pameran Dokumentasi Seni dan Komoditi Adat Jabar. Setiap hari dipertunjukkan pencak silat, nyiblung (musik air), kesenian dari Dayak Krimun, Indramayu, suling rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang dari Baduy.

8. Kampung Cikondang

       

Kampung Cikondang terletak dalam wilayah Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kampung ini berbatasan langsung dengan Desa Cikalong dan Desa Cipinang (Kecamatan Cimaung) di sebelah utara, lalu dengan Desa Pulosari di sebelah selatan, dengan desa Tribakti Mulya di sebelah Timur. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan desa Sukamaju. Dari kota kecamatan Pangalengan, Kampung Cikondang hanya berjarak 11 Km, sedangkan dari Kota Bandung berjarak 38 Km. 
Ada aturan adat yang Tidak Tertulis Kampung Adat Cikondang Beberapa pantangan atau tabu yang berlaku di masyarakat kampung Cikondang, khususnya tabu saat pelaksanaan upacara adat Musiman, antara lain sebagai berikut 
1. Melangkahi nasi tumpeng terutama untuk kegiatan upacara. Begitu juga konca, susudi, dan takir. ( Tiga jenis peralatan yang di gunakan sebagai alat mengalasi nasi dan makanan ringan khas adat) 
2. Menendang duwegan, terutama duwegan untuk keperluan sajian (sajen), yang melanggar akan mendapatkan musibah. Pernah ada kejadian, si pelanggar mendapatkan musibah tabrakan yang membuat kakinya cacat seumur hidup. 
3. Kelompok yang mencari daun pisang Manggala ke hutan untuk keperluan upacara adat tidak boleh memisahkan diri dari rombongan, jika dilakukan sexing kesasar walaupun sebelumnya telah mengetahui dan menguasai situasi dan kondisi hutan di daerahnya. 
4. Pergi ke hutan pada hari Kamis. 
5. Berselonjor kaki clad arah utara ke selatan. 
6. Kencing tidak boleh mengarah ke selatan, harus ke utara. Ke arah barat dan timur kurang baik. 
7. Menginjak parako; wadah atau alas hawu (perapian) sekaligus pemisah dengan bagian luar. 
8. Menginjak bangbarung (bagian alas pintu). 
9. Melakukan kegiatan di hari Jumat dan Sabtu, kecuali hari Sabtu untuk penetapan hari H upacara. 
10. Acara menumbuk padi lulugu tidak boleh jatuh pada hari Selasa dan Jumat. Menumbuk padi lulugu harus dilakukan pada tanggal 13 Muharam, jika tanggal ini jatuh pada had tersebut, maka harus digeser pada hari berikutnya; artinya jika jatuh pada hari Selasa maka kegiatan dialihkan pada hari Rabu, begitu juga jika jatuh pada hari Jumat maka kegiatan dilakukan pada hari Sabtunya. 
11. Rumah penduduk tidak boleh menghadap ke arah Bumi Adat, kecuali perumahan di seberang jalan desa. 
12. Jarah atau berjiarah tidak boleh dilakukan pada hari Jumat dan Sabtu. 
13. Wanita datang bulan (haid) dan yang sedang nifas tidak boleh masuk Bumi Adat. Jika ada keperluan yang berkaitan dengan Bumi Adat atau ingin menanyakan sesuatu kepada Anom, disediakan bale-bale di bagian depan Bumi Adat. 
14. Di Bumi Adat dilarang ada barang pecah belah dan barang-barang elektronik (modern) seperti radio,listrik,dan televisi. 
15. Bumi Adat tidak boleh memakai kaca, dan menambah dengan bangunan lain. 
16. Makanan yang dimasak untuk keperluan upacara tidak boleh dicicipi terlebih dahulu. Bagi mereka ada anggapan bahwa makanan yang dicicipi sebelum upacara selesai, sama dengan menyediakan makanan basi. 
17. Menginjak kayu bakar yang akan digunakan untuk bahan bakar hawu dalam pembuatan tumpeng lulugu. 
18. Daun pisang Manggala yang dipetik dari hutan keramat tidak boleh jatuh ke tanah. 
19. Mengambil bahan makanan yang tercecer dan dimasukkan kembali ke tempatnya. 
20. Berkata kasar atau sompral. 
21. Menyembelih ayam, selain ayam kampung.
 22. Empat pesan dari kabuyutan: •Atap rumah tidak boleh menggunakan genting dan rumah harus menghadap ke utara. Maknanya : jangan lupa akan asal muasal kejadian bahwa manusia dari tanah dan mati akan menjadi tanah. Maksudnya jangan sampai menjadi manusia yang angkuh, sombong, dan takabur
          Kepercayaan dan Upacara Keagamaan Seluruh warga masyarakat Kampung Cikondang beragama Islam, namun dalam kehidupan sehari-harinya masih mempercayai adanya roh-roh para leluhur. Hal ini dituangkan dalam kepercayaan mereka yang menganggap para leluhurnya ngauban (melindungi) mereka setiap saat. Leluhur itu pula yang dipercaya dapat menyelamatkan mereka dari berbagai persoalan, sekaligus dapat mencegah marabahaya yang setiap saat selalu mengancam. Pada mulanya masyarakat cikondang memeluk agama hindu-budha , namun perkiraan pada tahun 1700 masehi, datang seorang utusan dari Cirebon untuk mengislamkan masyarakat cikondang, utusan ini datang memegang titah dari syeh syarif hidayatullah atau yang kita kenal sunan Gunung jati yaitu Syeh Muhammad Tunggal, Orang inilah yang mereka anggap sebagai penyebar agama islam di kampong adat cikondang ini yang sampai sekarang makomnya pun masih di keramatkan oleh warga dan keturunan-keturunannya . Namun ada juga yang beranggapan bahwa asal mula kepercayaan masyarakat cikondang adalah sunda wiwitan, yaitu menganmbil jalur ajaran Nabi ada, mereka mempercayai bahwa ada 5 kekuatan dalam kepercaiaan di bawah kekuatan Illahi , yaitu : Nabi Adam, Siti hawa , Babu Hawa ( kayu Cendana, menyan,Piwarangan, artinya dapat di suruh dalam niat baik atau buruk ) ,batu hajar aswat ( mereka beranggapan bahwa batu hajar aswat asal mulanya berwarna putih ( suci) namun karena di turunkan ke bumi atau alam pembuangan, maka batu hajar aswat pun berubah warnanya menjadi Hitam ), jati ngarang ( naga yang dengan panjang badannya di percaya saat ini bertugas mengelilingi bumi ,yang konon ekornya berada di mulut naga tersebut, artinya bumi ini di ikat oleh naga tersebut yang tiap tahunnya mengerutkan adan bumi. Mungkin dalam pergeseran susnan sejarahnya, bisa di gambarkan sebagai berikut : Berawal dari ajaran agama hindu-budha – Sunda Wiwitan- Islam . Leluhur utama mereka yang sangat dipuja adalah Eyang Pameget dan Eyang Istri, kedua eyang ini dipercaya masyarakat setempat sebagai salah satu wali yang bertugas menyebarkan agama Islam di kawasan Bandung Selatan, khususnya di kampung Cikondang. Di tempat inilah akhirnya kedua eyang ini mengakhiri hidupnya dengan tidak meninggalkan jejak; masyarakat setempat mempercayai bahwa kedua eyang ini “tilem”. Adat istiadat yang bertalian dengan leluhur misalnya kebiasaan mematuhi segala pantangan-pantangan (tabu) dan melaksanakan : upacara-upacara adat. Upacara adat tersebut pada hakekatnya merupakan komunikasi antara masyarakat dengan leluhurnya yang dianggap sangat berjasa kepada mereka yaitu sebagai orang yang membuka atau merintis pemukiman Cikondang. Dalam upacara tersebut warga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada leluhurnya.
selain itu, Kampung Cikondang juga menyimpan potensi wisata spiritual lain, misalnya Desa Lamajang sendiri memiliki 9 tempat keramat berupa makam keramat yakni Lamajang, Talun, Bojong, Jamaringan, Renggal, Ciguriang, Cikanjang, Cibiana, dan Cibodas Wetan. 


9. Kampung Cisungsang

 
        Masyarakat Adat Cisungsang terletak di kaki Gunung Halimun, yang dikelilingi oleh 4 (Empat) desa adat lainnya yaitu Desa Cicarucub, Bayah, Citorek, dan Cipta Gelar. Masyarakat Adat Cisungsang berkedudukan di Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak. Untuk menuju ke Masyarakat Adat Cisungsang memerlukan waktu 5 jam dari kota Rangkasbitung Kab. Lebak dan dari Kota Serang - Ibu Kota Provinsi Banten dengan jarak tempuh ± 200 Km.
           menurut sejarahnya Kasepuhan Cisungsang berasal dari daerah Cadas Belang, keturunan dari olot Ruman/aki buyut Ruman/Harumanjaya. Olot Ruman memiliki tujuh orang anak yang menyebar ke kampung-kampung lain diantaranya: 1. Cisitu 2. Cisitu 3. Cisungsang (Uyut Sarpin) 4. Cisungsang 5. Ciherang 6. Citorek 7. Bogor Kasepuhan Cisungsang termasuk ke dalam kelompok Pangawinan Guru Cucuk Pangutas Jalan yang mempunyai fungsi sebagai pembuka jalan (tukang mawa obor) pada waktu Kasepuhan-Kasepuhan lain berpindah tempat
Upacara Adat yang masih terus dijalankan oleh masyarakat Kasepuhan Cisungsang diantaranya adalah : 
  1. Sedekah Mulud dan Rewah 
  2. Pongokan 
  3. Mipit amit
  4. Prah-prahan atau sedekah bumi 
  5. Seren taun 


10. Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi

   
           Kasepuhan adat Ciptagelar adalah satu kampung adat yang masuk dalam Kesatuan Adat Banten Kidul, kasepuhan adat ciptagelar masih memegang kuat adat dan tradisi yang diturunkan sejak 640 tahun yang lalu. Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang Abah yang diangkat berdasarkan keturunan, sampai saat ini kasepuhan adat Ciptagelar sedang dipimpin oleh Abah yang ke sebelas sejak tercatatnya kasepuhan ini dari tahun 1368.
          Secara administratif, kampung Ciptagelar berada di wilayah dusun Sukamulya, desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok, kabupaten Sukabumi. Jarak kampung Ciptagelar dari desa Sirnaresmi 14 km, dari kota kecamatan 27 km, dari pusat pemerintahan kabupaten Sukabumi 103 km dan dari Bandung 203 km ke arah barat. Kampung Ciptagelar berada pada posisi koodinat S 6°47'10,4"
         Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa. Artinya sejak tahun 2001 sekitar bulan Juli, Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Simarasa melakukan “hijrah wangsit” ke Desa Simaresmi yang berjarak belasan kilometer. Di desa inilah, tepatnya di Desa Sukamulya, Abah Anom atau Bapa Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan Kampung Adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Ciptagelar artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke Kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena “perintah leluhur” yang disebut wangsit.
             Desa Adat Ciptagelar sangat terbuka dengan wisatawan baik domestik maupun asing. Penduduk warga desa mempunyai ciri khas yaitu bagi laki-laki memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala hitam, sedangkan yang perempuan menggunakan kebaya sunda yang sederhana. 
Ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat ini, di antaranya yaitu: 
1. ritual ngaseuk yaitu ritual yang dilaksanakan sebelum menanam padi, 
2. ritual sapeng yaitu ritual yang dilakukan satu minggu setelah penanaman perdana padi, 
3. ritual ngabukti yaitu upacara pada saat padi pertama kali ditumbuk dan dimasak, dan ritual-ritual lainnya.


11. Kampung Urug

 
         Secara Geografis Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor. Kampung Adat Urug berloksi di Kampung Urug Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya. Jarak tempuh dari Cibinong sekitar 42 km, arahnya menuju Wilayah Barat pada pertigaan Kecamatan Cigudeg.Arah Barat Daya 
          Menurut riwayat Urug bukan terucap nama dengan begitu saja, dibalik kata itu tersembunyi kata “ GURU “ ; menurut pikukuh adat kepercayaan Kampung Urug, sudah berdiri sejak 450 tahun yang lalu, adanya sebuah mandala urug dengan masyarakatnya yang berpegang teguh kepada adat istiadat akan memegang suatu keteladanan kesundaan. Menurut cerita Kampung Urug sejaman dengan masa pemerintahan Prabu Nilakendra ( 1551 – 1569 M ) beliau seorang raja alim dan bijaksana dan banyak mengabdi pada hal – hal kegaiban, konon sisa – sisa pengabdiannya diantaranya patilasan raja masih ada di Kampung Urug, umumnya patilasan disebut Kabuyutan atau mandala yaitu suatu tempat yang jauh dari keramaian yang dijadikan tempat berkhalwat atau memuja sang maha pencipta adalah mungkin hal ihwal mula adanya mandala urug dimulai dari Gedong Ageung.
         Budaya kampung Urug adalah perumahan penduduknya mencirikan rumah adat dengan persamaan bahan yang dipakai serta bentuk rumah yang mempunyai kolong serta lumbung padi yang bernama leuit. dengan Arsitektur bangunan Bentuk rumah yang bercirikan pada tradisi kesundaan ( julang ngapak dan jago anjing ).


12. Kampung Mahmud

    
kampung Mahmud Terletak di  Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung dengan Koordinat : 6°58'18"S,   107°32'24"E
 Arah: dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa -Cibaduyut, lalu berhenti di terminal Tegallega. Dari terminal tersebut, menggunakan angkutan kota dengan rute Tegallega-Mahmud, kemudian berhenti di lokasi Kampung Mahmud.
menurut sejarah nya kampung mahmud berawal dari kedatangan Raden Haji Abdul Manaf disebut juga Eyang Dalem Mahmud adalah seorang ulama Sunda yang hidup pada abad peralihan abad ke-17/18, hidup diperkirakan antara tahun 1650–1725. Hingga saat ini, riwayat ulama ini belum banyak diketahui. Belum ada penelitian mendalam yang mengungkap peranannya di Kota Bandung pada abad tersebut. Tentang tempat asalnya, beredar dua versi: dari keturunan Cirebon dan dari keturunan Mataram. Mungkin, dari Mataram, ke Cirebon terus ke Bandung. Tapi melihat para leluhurnya, ia adalah seorang keturunan Sunda. Bukti pasti bahwa ia seorang ulama berpengaruh adalah makamnya yang dianggap keramat dan hingga kini banyak diziarahi banyak orang
adat istiadat dan keunikan dari masyarakat kampung Mahmud adalah rumah-rumah di kawasan Mahmud bentuknya sama yaitu rumah panggung, pantangan memakai kaca, menggali sumur dan bertembok. Kemudian, dilarang menyetel musik dan memelihara binatang. Namun, seperti akan diuraikan, nilai-nilai adat ini kini sudah banyak dilanggar. Keadaan mulai banyak berubah. 


13. Kampung Kuta

   
           Nama Kampung Kuta ini mungkin diberikan karena sesuai dengan lokasi Kampung Kuta yang berada di Iembah yang curam sedalam kurang lebih 75 meter dan dikelilingi oleh tebing-tebing/perbukitan, dalam bahasa Sunda disebut Kuta (artinya pager tembok). Mengenai asal-muasal Kampung Kuta, dalam beberapa dongeng buhun yang tersebar di kalangan masyarakat Sunda sering disebut adanya nagara burung atau daerah yang tidak jadi/batal menjadi ibukota Kerajaan Galuh. Daerah ini dinamai Kuta Pandak. Masyarakat Ciamis dan sekitarnya menganggap Kuta Pandak adalah Kampung Kuta di Desa Karangpaninggal sekarang. Masyarakat Cisaga menyebutnya dengan nama Kuta Jero. Dongeng tersebut ternyata mempunyai kesamaan dengan cerita asal-usul Kampung Kuta. Mereka menganggap dan mengakui dirinya sebagai keturunan Raja Galuh dan keberadaannya di Kampung Kuta sebagai penunggu atau penjaga kekayaan Raja Galuh.
          Masyarakat Kampung Kuta sebagai sebuah komunitas yang walaupun terikat dalam aturan-aturan adat, akan tetapi mereka mengenal dan menggemari berbagai kesenian yang digunakan sebagai sarana hiburan, baik kesenian tradisional maupun kesenian modern seperti calung, reog, sandiwara (drama Sunda), tagoni (terbang), kliningan, jaipongan, kasidah, ronggeng, sampai kesenian dangdut. Kesenian tersebut biasanya dipertunjukkan pada saat mengadakan selamatan/hajatan terutama hajatan perkawinan dan penerimaan tamu kampung. Pertunjukannya cukup diminati oleh segenap masyarakat dan mereka menyaksikan dengan cukup antusias.
          Upacara adat di Kampung Kuta yang rutin dilaksanakan hingga kini adalah Upacara Adat Nyuguh. Sesuai warisan leluhur, acara nyuguh itu harus dilakukan di pinggir Sungai Cijulang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap. Upacara nyuguh dilaksanakan pada tanggal 25 Safar pada setiap tahunnya. Pernah satu kali acara nyuguh tak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung mendapat musibah. Padi yang siap panen rusak parah, sedangkan jumlah hewan ternak ditemui mati menggelepar. Warga meyakini kerusakan itu terjadi karena “utusan” Padjajaran itu tidak disuguhi makanan.


14. Kampung Dukuh

  
           Kampung Dukuh terletak di Kabupaten Garut tepatnya di Kecamatan Cikelet Garut sebelah Selatan, Kampung Dukuh ini masuk ke wilayah Desa Cijambe, Jarak Kampung Dukuh dari Desa Cijambe sekitar 1,5 KM, sedangkan kalau dari pusat kota Garut, kita harus menempuh jarak sepanjang 101 Km. 
Keunikan dari kampung dukuh ini adalah keseragaman struktur dan bentuk arsitektur rumah adat yang menjadi penduduk kampung dukuh itu sendiri. Rumah-rumah di kampung dukuh ada beberapa puluh rumah yang tersusun ada kemiringan tanah yang bertingkat. 
           Setiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur ke Barat ke Timur. Di Kampung Dukuh ini ada upacara, Upacara
            ini suka disebut upacara Moros salah satu manisfestasi masyarakat Kampung Dukuh yaitu memberikan hasil pertanian seperti palawija kepada pemerinta menjelang Idul Fitri dan Idul Adha. 
            Ciri khas dari Kampung Dukuh yang masih terus dijaga sampai saat ini tidak terpengaruhnya oleh kemajuan jaman yang semakin modern, seolah-olah tidak mengenal perkembangan ilmu dan Teknologi saat ini.



Demikian Beberapa Kampung adat yang berada di tataran wilayah Sunda, moga bermamfaat.

# di sadur dari beberapa sumber

Comments

  1. Bagus tulisannya. Ini kawan saya ada tulisan senada http://www.anakadam.com/2016/08/teknik-grendel-ala-kampung-naga/ Terimakasih.

    ReplyDelete
  2. Kang, izin copy ya buat tugas powerpoint, terimakasih dan semoga akang makin banyak dan bermanfaat lagi ilmu nya..

    ReplyDelete
  3. Kang, izin copy ya buat tugas powerpoint, terimakasih dan semoga akang makin banyak dan bermanfaat lagi ilmu nya..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog